Sukses tak selalu berarti berhasil mengumpulkan banyak pundi uang. Seseorang juga bisa dikatakan sukses ketika dapat memberi manfaat bagi masyarakat serta lingkungan yang ada di sekitarnya. Agaknya prinsip inilah yang diterapkan oleh pasangan Suporahardjo dan Farha Ciciek dalam menjalani hidup mereka. Berdua, mereka mendirikan komunitas bagi anak-anak dan remaja bernama Tanoker di wilayah Ledokombo, Jember, Jawa Timur. Kegiatan komunitas ini fokus pada pengembangan potensi anak-anak melalui proses pengorganisasian dengan pendekatan budaya.
Nama Tanoker diambil dari bahasa Madura yang berarti kepompong. Dengan semboyan “bersahabat, bergembira, belajar, berkarya”, anak-anak yang bergabung dalam Tanoker diharapkan bisa berubah layaknya ulat yang buruk rupa menjadi kupu-kupu indah yang bisa terbang bebas. Untuk mewadahi semua potensi, terdapat tujuh kelompok yang dibuat berdasarkan minat anak-anak di Tanoker. Ketujuh kelompok tersebut di antaranya permainan tradisional, membaca-menulis, memasak, olahraga, musik, menari, serta melukis. Setiap bulannya, anak-anak ini akan diminta untuk menampilkan karya sesuai kelompoknya.
Tak mudah bagi Soporaharjo dan Farha membangun komunitas ini. Sebelumnya, wilayah Ledokombo ini terkenal dengan penduduknya yang memiliki tingkat kemiskinan dan tindak kejahatan yang tinggi. Namun setelah Tanoker didirikan, anak-anak yang semula suka berkeliaran di jalanan, kini memiliki wahana belajar dan bermain yang lebih bermanfaat bagi masa depan mereka.
Tanoker didirikan di atas sebidang tanah milik Suporahardjo, putra daerah Jember kelahiran 9 Juli 1963. Beliau merupakan sarjana Jurusan Manajemen Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada di tahun 1991. Setelah menamatkan penddikannya di UGM, Suporahardjo melanjutkan jenjang magister dan doktoral di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.
Sesuai dengan ilmu yang dipelajari di perguruan tinggi, sejak 1990 Soporahardjo sering terlibat dalam kegiatan pengelolaan sumber daya alam dan manajemen konflik. Keaktifannya terlihat dari banyaknya peran yang diembannya, misalnya sebagai peneliti, konsultan, fasilitator pelatihan, maupun workshop dalam berbagai jenis kegiatan sosial yang diikutinya. Bahkan sejak 2011 hingga sekarang, Suporahardjo turut bergabung sebagai anggota Komisi Penyuluhan Kehutanan Nasional Kementerian Kehutanan RI.
Berbeda dengan suaminya, Farha Ciciek atau Farha Abdul Kadir Assegaf, lebih fokus pada bidang pendidikan, gender, dan agama. Wanita kelahiran Ambon 26 Juni 1963 ini menempuh pendidikan S2 di program studi Sosiologi Universitas Gadjah Mada tahun 1995. Beliau sempat mendapat beasiswa di Australian National University dengan penelitian mengenai dinamika Pondok Pesantren al-Mukmin Surakarta pada tahun 2005-2006.
Farha Ciciek sangat aktif di berbagai organisasi dan kegiatan. Kalyanamitra Woman Centre, Perhimpunan Pengembangan Pesantren Masyarakat (P3M), RAHIMA (Pusat Pendidikan dan Informasi Islam & Hak-hak Perempuan), Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei) adalah beberapa organisasi yang diikutinya. Selain menjadi aktivis, Farha Ciciek juga merupakan peneliti dan konsultan dengan segudang publikasi paper penelitian maupun buku.
Atas berbagai macam pengabdiannya, Farha Ciciek sempat memperoleh beberapa penghargaan. Di tahun 2005, beliau masuk dalam “1000 women’s world peace” yang dinominasikan untuk menerima Noble Peace Prize. Pada 2007, Ashoka International menganugerahi beliau dengan gelar “a social innovator” atas usahanya melakukan pendekatan alternatif demi menciptakan kesamaan gender di Indonesia. Tak hanya itu, Farha juga mendapat “She Can Award” dari Tupperware pada 2013 serta “Kartini Award” dari PT Telkom di tahun 2014.
Berkat perjuangan Saporahardjo dan Farha, saat ini Tanoker tak hanya berhasil mengubah kebiasaan serta semangat hidup masyarakat Ledokombo, namun juga berhasil menjadikan Ledokombo sebagai destinasi wisata di Jember. Berbagai lapisan masyarakat mulai banyak yang berkunjung ke Ledokombo. Terutama pihak yang ingin merasakan kembali berbagai permainan tradisional. Hebatnya lagi, Tanoker juga rutin menyelenggarakan Festival Egrang bertaraf internasional setiap tahunnya.
Maju terus pantang mundur…sukses dan barokah