Pande Putu Setiawan, menyelesaikan S1Teknologi Industri di STT Telkom Bandung 2001, kemudian melanjutkan pendidikan S2 di MM FEB UGM, lulus 2006. Saat kuliah di UGM Pande berkesempatan menjadi peserta pertukaran mahasiswa ke University of Victoria, British Columbia – Canada. Pernah pula Pande menjadi kandidat penerima beasiswa Ph.D. in Tourism yang ditawarkan oleh World Tourism Organization di Hong Kong Polytechnique Institut. Pande pernah bekerja sebagai Staf Field Monitor – Program Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-WFP) dalam pemulihan dampak gempa di Yogyakarta. Bulan Februari 2008, Pande berkesempatan pergi ke Vientiane – Laos dalam rangka penghargaan pemuda ASEAN bersama pemenang Indonesia Young Entrepreneur.
Di balik gemerlapnya sebagai salah satu tujuan utama pariwisata dunia, Bali ternyata masih menyimpan sisi kekurangan. Belandingan, salah satu desa di atas bukit di tepi Danau Batur, daerah Kintamani, menjadi salah satu contohnya. Terletak di ketinggian sekitar 1200 m dpl menuntut masyarakat desa ini bekerja keras mencukupi kebutuhan hidup mereka dari hasil pertanian. Demi membantu orangtua mereka anak-anak bekerja di ladang, mencari rumput, mengambil air dengan ember maupun jerigen yang berjarak sekian kilometer dari tempat tinggalnya, menjadi hal yang biasa. Tuntutan hidup menjadikan masyarakat di sana menempatkan pendidikan di nomer urut sekian setelah kebutuhan harian mereka tercukupi. Tak ayal kemampuan akademis anak-anak di Belandingan terpaut jauh dengan anak-anak di kota.
Ketimpangan ini menggugah seorang Pande Putu Setiawan. “Kalau bukan saya -yang juga asli warga Batur- yang membantu mereka, siapa lagi?” Setelah pulang dari Laos, Pande terlecut.Ternyata, ada ribuan anak di Bali yang tidak bisa sekolah. Bayangkan, ada sekitar 1.315 anak Bali yang putus sekolah. Baginya ini memalukan. Pande pun memutuskan, ini waktunya meninggalkan kemapanan dan menemani sekitar tiga ribu anak-anak di Kintamani. Mereka adalah anak-anak yang minum air hujan, tidak bisa sekolah, sakit, dan lain-lain.
Memantapkan hati melangkah dengan tujuan mulia membantu anak-anak Desa Belandingan, pada awalnya Pande berkunjung ke sana untuk sekadar mengajak mereka bermain, mengobrol dan bercanda untuk sejenak melupakan beban keseharian mereka. Tidak sulit bagi masyarakat di sana untuk menerima kedatangan Pande karena masyarakat sekitar Danau Batur telah mengenal baik siapa kedua orang tuanya. Sang ibu adalah seorang guru, sementara bapaknya seorang tenaga medis, seorang mantri kesehatan di Desa Songan, yang mengabdikan tenaganya memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di sekitar Danau Batur. Pande kecil pun sering ikut sang bapak berkeliling melayani vaksinasi bayi.
Seorang yang menyandang gelar Sarjana Teknik dari STT Telkom Bandung, dan gelar Magister Manajemen dari MM FEB UGM lebih memilih mengabdikan diri mendampingi anak-anak di sebuah desa di puncak bukit daripada duduk di belakang meja dengan jabatan manajer. Untuk memenuhi panggilan hatinya pekerjaan pun ditinggalkan. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar bagi orang-orang terdekat, apalagi kedua orangtuanya, Bahkan hal ini sempat menimbulkan konflik kurang lebih selama tiga tahun!
Tidak hanya itu tantangan yang dihadapi. Pada awal observasi, berdasar ilmu akademik yang diperoleh di bangku kuliah, Pande menemukan bahwa anak-anak di Belandingan kekurangan buku bacaan. Dibuatlah olehnya sebuah rak buku dari kayu lengkap dengan buku-buku bacaan anak-anak. Sempat terbersit harapan sedikit bantuan ini dapat memacu semangat belajar anak-anak di sana. Selang tiga bulan kemudian Pande kembali, dan menemukan rak buku beserta isinya telah teronggok di tanah dan tidak berbentuk lagi! Terpukul? Pasti! Ada apa
gerangan? Sambil terus melanjutkan kegiatannya bermain dengan anak-anak Desa Belandingan observasi lebih mendalam juga dilakukan oleh Pande. Waktu mereka tersita untuk bekerja. Tuntutan memenuhi kebutuhan hidup ternyata memang mampu mengalahkan hak anak-anak Belandingan untuk memperoleh pendidikan yang layak. Terpercik pemikiran bahwa kebutuhan keseharian mereka harus tercukupi lebih dahulu sebelum melangkah ke pendidikan.
Berawal dari keprihatinan terhadap anak-anak di Bali yang tidak mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang layak inilah akhirnya Pande membidani lahirnya Komunitas Anak Alam, komunitas yang menaungi anak-anak yang kurang mampu dan miskin di Bali. Sebuah organisasi kepemudaan yang dimotori oleh anak-anak muda yang berjiwa sosial untuk membantu anak-anak dalam mendapatkan, khususnya kehidupan yang layak dan pendidikan yang baik. Komunitas ini juga sekaligus sebagai wadah untuk anak-anak muda, selain bersenang-senang, juga bisa ikut berkegiatan social.
Motivasi, itu yang paling utama diberikan oleh komunitas kepada anak-anak. Alasannya, anak-anak tersebut minder karena mereka kumuh, kotor, dihindari orang. Dan, tujuan utamanya adalah agar mereka bangga menjadi anak-anak, walaupun miskin, hidup susah, terpencil dan tak banyak dihargai orang. Selebihnya, komuntas ini dibantu oleh para relawan, berupa beasiswa, informasi, sarana, seragam, buku, tas, dan alat tulis. Para relawan membuatkan rumah baca atau perpustakaan keliling, dan bermain di balai desa. Komunitas Anak Alam ini tidak memiliki gedung sekolah sendiri.Menurut Pande sekolah itu tanggung jawab pemerintah. Namun, bukan berarti komunitasnya tidak memfasilitasi apa-apa. Justru, banyak sekali yang diberikan oleh komunitas ini untuk anak-anak di Bali. Diantaranya adalah 1000 seragam sekolah untuk anak Indonesia, school feeding, mengirim baju layak pakai, alat-alat tulis dan pengadaan layanan kesehatan oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran Udayana, Bali.Tidak hanya itu, komunitas ini juga melakukan Green camp bersama kawan-kawan muda, pelepasliaran ayam hutan, tanda cinta untuk guru, belajar melukis, festival mainan kardus, dan CSR bersama perusahaan di Bali. Sekali waktu anak-anak juga diajak keliling Bali. Dari 200 anak-anak di desa Belandingan, Pande pernah bertanya “Berapa banyak yang pernah ke Denpasar, yang acung tangan gak ada,” ucapnya lirih. Anak-anak disana juga diajarkan memotret, dan menariknya satu kamera digunakan oleh seribu anak, dan lagi kamera itu adalah kamera sumbangan. Ada pencapaian terbesar yang sudah diraih anak-anak di komunitas ini. Apa itu? Ada dua anak yang pernah ikut serta dalam pameran foto ke luar negeri, yaitu I Made Keliwon ke Melbourne, Australia dan Ni Wayan Septi Mertiyani ke Belanda.
“Saya juga terinspirasi masa kecil saya di Kaldera Danau Batur, Kintamani, dimana danau begitu bersih. Pesisir danau masih pasir hitam halus. Kini danau rusak, pesisir berubah menjadi berlumpur karena diuruk untuk pertanian. Penggunaan pestisida berlebihan. Intinya hari ini rusak” ucap Pande dengan nada kecewa terhadap apa yang dilihatnya.
Oleh karena itu, Pande ingin mendedikasikan hidupnya sebagai anak alam untuk ‘balas dendam’ terhadap keadaan tersebut. Menurutnya, anak-anak berhak mendapatkan hidup atau pulau yang masih baik. Anak-anak di dalam komunitas ini adalah anak-anak tingkat SD, SMP, SMK, dan 1 orang dari PT (Perguruan Tinggi). Dan mereka berasal dari berbagai daerah di Bali, yaitu Kaldera Danau Batur, Kintamani, Seraya Karangasem, Lovina, Tabanan, Kelungkung, dan targetnya sampai seluruh pelosok Bali.
Yang luar biasa dari komunitas ini adalah semua kegiatan yang ada dibiayai dana murni dari kantong pribadi relawan tanpa ada campur tangan pemerintah atau pihak asing lainnya. Banyak masyarakat yang terlibat, tanpa dana dari lembaga besar, murni dana gotong royong. Dimulai sejak 2006 hingga kini, tidak ada yang berubah. Komunitas ini ingin membagikan semangat bahwa masyarakat juga ikut bertanggungjawab dalam dunia pendidikan dengan tidak mengandalkan pemerintah. Karena berasal dari dana murni pribadi komunitas ini pun pernah mengalami kesulitan soal dana. Namun, mereka tetap punya siasat, saat gak punya dana, kegiatan biasa saja. Karena bermain bersama mereka gak butuh dana. Lagipula, banyak kegiatan kita yang gak butuh dana besar. Mengajak anak-anak jalan hanya modal 1 tangki bahan bakar untuk sepeda motor, cuma 15 ribu. Prinsipnya, hindari mainstream project. Lakukan yang sederhana dan selalu bekerjasama, saling berbagi, sehingga beban menjadi ringan. Seiring perjalanan waktu, Komunitas Anak Alam pun berkembang menjadi gerakan masyarakat peduli. Melibatkan lebih banyak komponen, gotong royong dan berbagi dari tangan ke tangan. Menariknya lagi tak seperti kebanyakan komunitas lain, dalam komunitas Anak Alam ini tidak ada sistem kepengurusan. Artinya, siapa saja boleh ikut menjadi relawan. Bahkan, ada relawan yang terseleksi secara alamiah datang dari Australia, Hongkong, Korea, Belanda, Amerika dan negara lainnya.
Komunitas Anak Alam ini akhirnya “tercium” juga oleh tim program Kick Andy Metro TV. Tanpa memberikan pemberitahuan tim program ini pun mendatangi Pande dan meliput kegiatan keseharian Komunitas Anak Alam. Hasilnya banyak pemirsa terperangah hampir tidak percaya bahwa hal ini benar-benar terjadi pada saat ini, di Bali, tujuan wisata terbaik di Indonesia dan salah satu tujuan wisata dunia, saat liputan tersebut ditayangkan di segmen Kick Andy on Location. Dan pada tanggal 1 Maret 2014 saat gelaran penganugerahan Kick Andy Heroes 2014, nama Pande Putu Setiawan pun disebut oleh Wakil Presiden, Boediono, untuk menerima penghargaan Kick Andy Heroes 2014 Pilihan Pemirsa. Memang bukan hal yang mudah untuk meninggalkan kemapanan dan kenyamanan hidup yang kita nikmati. Namun bila nurani telah memanggil, gunung yang menjulang tinggi bukanlah halangan bahkan menjadi pijakan untuk memandang ke cakrawala yang lebih jauh. Teruskan perjuanganmu Pande!!
(Rangkuman dari berbagai sumber, diantaranya: Wawancara langsung, 11 April 2014 di UGM; facebook Komunitas Anak Alam; Blog Komunitas Anak Alam)
Anak Alam … Luar biasa, menjadi nyata dan exist dengan adanya pande putu Setiawan. Semoga semuanya bisa berbahagia.