“Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan teluk. Ini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga ‘Jalesveva Jayamahe’, di laut justru kita jaya, sebagai semboyan kita di masa lalu bisa kembali”. Demikian salah satu petikan pidato kenegaraan Joko Widodo pasca dilantik Majelis Permusyawaratan Rakyat tempo hari. Jokowi lagi-lagi menegaskan bahwa sebagai negara maritim, kita perlu menguatkan identitas kemaritiman sebagai arah pembangunan Indonesia.
Visi Jokowi terhadap pengembangan sektor maritim kembali menguatkan diskursus pengembangan potensi kelautan di Indonesia. Selama ini, sebagai negara yang berbasiskan kepulauan, arah pembangunan yang dicanangkan tak sejalan dengan karakteristik geografisnya. Orientasi pembangunan di Indonesia terfokus pada prinsip kontinen. Padahal wilayah Indonesia merupakan negara maritim yang ditandai dengan area lautan yang luas dengan ribuan pulau, bukan berciri daratan dengan pulau yang dikelilingi pantai dan laut.
Akibatnya, sumber daya kelautan hanya dilirik sebelah mata. Pelabuhan dan sarana prasarana kemaritiman belum dioptimalkan sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Tidak mengherankan apabila sektor ekonomi kelautan hanya berkontribusi sekitar 20-an persen dari total PDB nasional. Bahkan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dhahuri, M.S., Guru Besar Fakultas Pertanian dan Ilmu Kelautan IPB menyesalkan, potensi perikanan sebesar 65 juta ton per tahun baru 20 persennya saja yang telah dimanfaatkan.
Pembangunan yang tidak memperhatikan fakta geografis ini berimplikasi pada fakta geopolitis, fakta sosial ekonomi, dan fakta ekologis (Thung Ju Lan: 2007). Akibatnya bangunan kebangsaan yang ditopang dengan ketiga hal itu bopeng di sana-sini. Sehingga tak ayal pembangunan di Indonesia terlihat berjalan lamban dan bahkan jalan di tempat.
Bijaknya, kita perlu menengok kembali kejayaan maritim di masa lampau. Para leluhur bangsa ini jauh-jauh hari sudah memaknai kebudayaan maritim sekaligus mewujudkannya dalam kebijakan nasionalnya. Pada masa lalu, bangsa Indonesia telah mampu menyatukan dirinya secara geografis dengan alam tempatnya bermukim. Kemampuan inilah yang berhasil mengantarkan beberapa kerajaan nusantara seperti Sriwijaya, Singasari, maupun Majapahit ke tampuk kejayaan. Namun sayangnya, kita seakan mengalami amnesia sejarah: lupa cara hidup di tengah-tengah laut yang maha kaya.
Mengembalikan kembali kejayaan maritim Indonesia bukanlah perkara mudah. Sebagai kebudayaan, identitas maritim perlu mencakup sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya yang dihasilkan. Di dalam budaya terkandung ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, kebijakan, dan sebagainya. Seperangkat kerangka kebudayaan itulah yang perlu dikembangkan sebagai upaya pengembangan sektor maritim.
Mengingat diskursus ihwal kemaritiman ini kembali menarik untuk dikaji, dalam rangka ulang tahun UGM ke-65 dan Munas KAGAMA XII tahun 2014 di Kendari, KAGAMA juga akan mengusung persoalan ini menjadi tema besar. Bahasan ini akan tertuang dalam workshop bertajuk Revitalisasi Negara Maritim yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian sebagai salah satu rangkaian kegiatan Munas KAGAMA XII. Disamping itu, akan dibahas pula beberapa isu strategis perihal pengembangan Sumber Daya Manusia, Ipteks, dan Sumber Daya Alam. Dengan diadakannya forum ini, KAGAMA ingin menunjukkan bahwa alumni UGM yang tersebar di seantero penjuru dunia peduli pada pengembangan kualitas bangsa Indonesia di kancah internasional. Ini juga sebagai wujud dedikasi intelektual-intelektual Bulaksumur untuk berkontribusi menyumbangkan hasil pemikirannya demi kemajuan Indonesia.