Kegaduhan politik yang terjadi di Indonesia belakangan ini tidak lepas dari masalah pada level elit republik. Pangkal krisis ini adalah persoalan integritas elit yang menghadap-hadapkan mereka (elit) dan publik. Situasi ini mengancam modalitas politik pemerintah yang sebenarnya sudah relatif baik dibangun pada awalnya.
Demikian konsensus yang mengemuka dalam diskusi bulanan PP Kagama, “Meretas Kegaduhan Politik”, Sabtu 21 Februari 2015 di Solaria kafe, FX Senayan, Jakarta. Diskusi menghadirkan Mochtar Pabottinggi APU, Budiman Tanuredjo (Kompas), Ashadi Siregar (LP3Y) dan Yudi Latif PhD, dipandu oleh Banu Astono. Diskusi ini merupakan putaran ketiga kerjasama PP Kagama, Radio Sonora dan Kompas Komunitas. Para diskusan sepaham bahwa di level elit, kegaduhan ini menguak kegagalan konsolidasi antarelit yang sebenarnya sangat diperlukan untuk menyelesaikan agenda bangsa. Kegaduhan juga menguak persoalan lain dalam pengambilan keputusan petinggi negara: presiden yang kelewat hati-hati dan tidak imbang dalam melakukan penyelamatan dua lembaga penegak hukum yang terseret dalam kegaduhan politik ini; DPR yang tidak punya kepedulian pada persoalan integritas.
Sejatinya, menurut Budiman Tanurejo dan Mochtar Pabottinggi, dua alumni UGM yang tampil sebagai pembicara, ketegangan dalam persaingan adalah sesuatu yang niscaya dalam kompetisi politik. Tujuannya tidak lain untuk mencari konsensus dari negosisiasi antar-kepentingan substantif antar kelompok.
Sayangnya, krisis politik saat ini menguak betapa ketegangan yang ada tidak memiliki juntrung yang jelas. Ketegangan hanya mempertegas defisit politik yang menerpa republik ini: kebanyakan (surplus) politisi dan kekurangan (defisit) negarawan. Akibatnya negosiasi antar-elit hanya diikat oleh kepentingan dan ketakutan.
Situasi ini patut disayangkan karena menjatuhkan kredibilitas Presiden dalam memperjuangkan dua agenda besar: nawacita dan revolusi mental. Dua agenda ini membutuhkan kaki-kaki struktural agar tidak tenggelam dalam keributan politik yang seharusnya bisa dihindari sedari awal, atau bisa dikelola jika Presiden menangkap lebih cepat rasionalitas demokrasi yang disampaikan oleh publik.
Dalam rentang memori publik yang berulang berupa kriminalisasi pejabat KPK oleh POLRI, keterputusan nalar politik Presiden, elit dan publik, membuat tantangan pemerintahan Jokowi dalam memperjuangkan nawacita dan revolusi mental kelihatan makin pelik. Kecuali, Presiden Jokowi kembali menyambung kembali dirinya dengan nalar keadilan hukum yang dirasakan oleh publik.
Karena itu, diskusi mengerucut pada konsensus bahwa Presiden perlu menarik pembelajaran pahit dari kegaduhan politik ini. Presiden, dengan kapasitas politik yang sebenarnya memadai dalam merangkul berbagai kelompok kepentingan, perlu lebih hati-hati dalam mengangkat pimpinan kepolisian atau lembaga penegakan hukum mendatang. Kompetensi calon tentu saja perlu, tapi integritas calon tidak bisa ditawar atau dikompromikan.
Diskusi juga mengerucut pada perlunya Presiden lebih bersikap sebagai negarawan, bukan lagi sebagai politisi, untuk mengambil prakarsa menyelamatkan institusi POLRI dari oknum petinggi yang menggunakan kewenangan untuk melakukan penegakkan hukum yang mengganggu rasa keadilan publik.
Presiden perlu meminta aparat penegak hukum untuk mulai mengembangkan restorative justice terhadap kasus-kasus yang tidak terlalu signifikan dalam konteks kedaruratan perang melawan korupsi, agar memori kelam tentang kriminalisasi tidak terulang, dan bangsa Indonesia bisa fokus dalam upaya pemberantasan korupsi