“Perempuan di Indonesia sudah banyak yang berpendidikan tinggi, namun sayangnya ketika diminta bicara di publik, masih banyak yang kurang percaya diri untuk bersuara.” Begitulah kira-kira salah satu fenomena perempuan yang ada di Indonesia menurut Suharti, direktur Rifka Annisa, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang perempuan dengan basis di Yogyakarta. Ibu satu anak yang akrab disapa Harti ini mengutarakan bahwa fakta ini berkembang karena perempuan Indonesia sudah terbiasa dididik dalam budaya patriarkal yang kental.
Di zaman presiden Soekarno dulu, terangnya, setiap seminggu sekali beliau melatih perempuan berorasi di alun-alun utara. “Oleh karena itu, kalau dilihat dari sejarah kita bisa menemukan banyak organisasi perempuan yang aktif,” papar Harti. Berbeda lagi ketika masa Soeharto, peran perempuan justru kembali didomestifikasi melalui organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga atau PKK, dan kondisi tersebut berlangsung selama 32 tahun.
“Perempuan itu harusnya percaya diri karena punya pengetahuan yang banyak, bukan karena punya fisik yang bagus saja,” ungkapnya. Wanita kelahiran Kulon Progo, 31 Januari 1982 ini menjelaskan bahwa salah satu cara mengatasi hal ini adalah dengan aktif mengikuti organisasi. Awal mula Harti dapat terlibat jauh dalam dunia LSM perempuan pun karena partisipasinya dalam berbagai organisasi di akhir masa kuliahnya. Pada awalnya, alumni Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada angkatan 2000 ini ikut tertarik membela nasib petani dalam konflik pasir besi di pesisir Kulon Progo. “Konflik ini terjadi di daerah saya dan saya merasa harus berkontribusi di sana,” kisah Harti. Di tahun 2006, Harti pun turut bergabung dengan berbagai LSM perempuan menjadi relawan gempa Yogya di daerah Pleret, Bantul.
“Saya nyesel baru ikut organisasi di semester tujuh-delapan. Itu pun organisasi luar kampus,” ujarnya. Padahal menurut Harti terdapat banyak hal yang ia peroleh dengan bergabung dengan organisasi, termasuk kemampuan berkomunikasi di hadapan publik. “Maka dari itu kalau saya bertemu mahasiswa, saya selalu pesan supaya banyak-banyak aktif di organisasi apapun itu,” ucap Harti.
Keikutsertaan Harti dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan ini didukung penuh oleh keluarganya. “Alhamdulillah, dari dulu orang tua saya selalu support. Sekarang suami saya juga terus mendorong saya untuk terus berkarya,” papar Harti. Menurutnya, keluarga sebagai madrasah pertama turut menjadi faktor utama pembentukan karakter seseorang. Lahir sebagai bungsu dari lima bersaudara tak menjadikan Harti manja. Dari kecil, mereka sudah dilatih mandiri. “Bahkan dua kakak laki-laki saya suka cuci piring, beres-beres karena memang sudah terbiasa,” ungkapnya.
Menjadi perempuan yang berdaya, tak lantas berarti menanggalkan peran ibu di keluarga dan hanya peduli soal karier. Di era banjirnya arus informasi saat ini, peran pengasuhan kedua orang tua sangatlah penting untuk mencetak pribadi cemerlang. “Selama orang tua bisa jadi sahabat bagi anak, tempat bercerita, dan tempat bertanya yang pas, dari situlah akan muncul ketahanan keluarga,” pungkas Harti. Hal ini bisa dibentuk apabila komunikasi dan negosiasi antara kedua orang tua berjalan dengan baik.
Kini Suharti telah delapan tahun aktif di Rifka Annisa. Tahun ini Ia akan mengakhiri masa jabatannya sebagai direktur yang diembannya sejak 2012 silam. Meski tidak lagi menjabat sebagai direktur, Harti akan tetap aktif menghidupi lembaga tersebut. Rencana ke depannya, Harti akan melanjutkan pendidikannya dengan mendaftar S2 di UGM. “Saya berharap perempuan-perempuan di Indonesia juga dapat meningkatkan kapasitas dirinya. Saling bahu-membahu meningkatkan kualitas hidup untuk kemajuan bangsa ini,” tutupnya. [Nirmala]