Meski tahun ini usianya sudah mencapai 85 tahun, namun ingatan beliau masih sangat tajam. Dengan semangat beliau mengisahkan bagaimana masa mudanya ketika bergabung dengan Tentara Pelajar Kompi III Detasemen III Brigade 17. “Pada waktu itu saya masih SMP kelas 3 di Purworejo. Semua siswa mendapat latihan kemiliteran. Kita turut menjaga garis pertahanan bersama tentara Indonesia di Semarang,” kenangnya. Ketika Perjanjian Renville ditandatangani, Prof Kunto bersama teman-temannya asal Purworejo bisa kembali ke rumah dan melanjutkan pendidikan SMA-nya di Solo dari akhir 1947 hingga Desember 1948.
Di akhir tahun 1948, revolusi fisik kembali mulai. Bersama 16 orang pelajar dari Purworejo, Prof Kunto menyusuri jalanan hingga ke perbatasan Kebumen – Karanganyar. Mereka menggunakan taktik gerilya, menyerang secara tiba-tiba konvoi musuh yang sedang lewat. “Kita tidak pernah membuka peperangan, diam-diam saja. Kalau mereka balas menyerang, baru kita lari menyelamatkan diri,” ujar ayah dua putri ini terkekeh.
Menurutnya, keberhasilan tentara Indonesia mengusir penjajah tidak lepas dari peran rakyat setempat yang banyak berkorban. “Hingga saat ini saya juga masih heran. Ke mana pun kita pergi, rakyat selalu siap dengan logistik dan informasi untuk tentara. Hebat sekali,” ungkapnya sambil menerawang.
Ketika akhirnya perang resmi berakhir, Prof Kunto dan 18 kawannya sesama kompi di Kedu Selatan memutuskan untuk menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Di tahun 1951, resmilah beliau menjadi mahasiswa Sosial dan Politik UGM yang masih berlokasi di Pagelaran Keraton Yogya. “Dulu kita diberi uang saku Rp 125,- dari KUDP (Kantor Urusan Demobilisasi Pelajar). Itu juga sudah cukup untuk jajan,” jelasnya.
Selama kuliah, ada banyak hal yang dilakukan Kunto muda. Misalnya saja, beliau bersama kawan-kawannya turut berjasa dalam mendirikan SMA Persiapan Negeri Purworejo. Sekolah yang sekarang bernama SMAN 1 Purworejo ini pun menjadi SMA pertama yang berdiri di kabupaten. “Walau cuma sempat mengajar Tata Negara selama dua tahun, tapi saya tetap bangga murid-murid saya banyak yang mentas,” katanya.
Waktu itu, kuliah bersama Prof Notonagoro merupakan kelas favorit beliau. Bersama 200 orang lainnya di Siti Hinggil, Prof Kunto mulai merasa jatuh cinta dengan dunia filsafat. “Dulu kalau terlambat, kita tidak berani masuk. Cuma bisa mendengarkan dan mencatat dari luar saja,” paparnya. “Berbeda dengan mentalitas mahasiswa sekarang yang sudah melonggarkan sopan santun kan?” ujar lulusan sarjana UGM tahun 1958 ini.
Kecintaannya pada filsafat kemudian menuntunnya menempuh Post Graduate Study pada tahun 1970 – 1972 demi mendalami filsafat barat di Leuven, Belgia. Beliau pun melanjutkan studi S3-nya di Leiden, Belanda di 1979 berkat undangan Prof Dr Mr CA van Peursen, guru besar di Belanda sekaligus promotornya. Prof Kunto kemudian diuji doktoralnya di UGM pada tahun 1982, yang membuatnya menjadi doktor filsafat pertama di UGM.
Prof Kunto dianugerahi gelar emeritus, sehingga hingga saat ini beliau masih aktif mengajar dan bahkan menguji mahasiswa S2 dan S3 di UGM. Beliau juga sempat menjadi anggota Dewan Riset Nasional di Dikti. “Sejelek-jeleknya saya sekarang masih mencoba meneruskan sinau, belajar,” papar kakek dua cucu yang masih mengoleksi buku-buku perjuangan ini.
“Sebagai mahasiswa dan alumni Universitas Gadjah Mada, hendaknya kita tidak hanya bangga namun juga tetap menjaga jati diri, filosofi, dan menjaga kebesaran nama UGM sesuai dengan norma-norma yang seharusnya,” pesan Prof Kunto mengakhiri kisahnya. [Nirmala]