“Indonesia belum menjadi negara maju karena mayoritas masyarakatnya belum memiliki sikap dan perilaku yang baik,” ungkap Dr. Hendig Winarno, Deputi Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)Bidang Pengembangan Teknologi Nuklir, di hadapan lebih dari 2.000 calon wisudawan Pascasarjana Periode Oktober yang memadati Grha Sabha Pramana, Selasa (17/10).
Hendig mengambil contoh satu negara di dunia yang dipandang sebagai negara maju, walaupun potensi sumber daya alamnya tidak sebesar Indonesia, yakni Jepang. Di sana, ungkapnya, etika dan kedisiplinan merupakan modal dasar yang selalu diajarkan sejak usia belia hingga dewasa. “Pernah dimarahi oleh Profesor saya karena ada yang terlewat saat penelitian, kemudian dinasihati jika tidak mengindahkan lebih baik pulang ke Indonesia dan tidak perlu melanjutkan program Doktor di Jepang ,” tutur Hendig.
Sikap seperti itu menurut Hendig sudah menjadi budaya yang melekat di setiap warga negara Jepang. Dimulai dari pejabat pemerintahan sampai warga biasa, semuanya memiliki semangat yang sama akan kepedulian terhadap hal-hal yang menjadi prinsip dasar dalam lingkungan bermasyarakat. Salah satu faktor yang menjadikan Jepang menjadi negara maju walau pernah terpuruk akibat perang dunia ke 2. “Kebiasaan itu yang tidak ada di Indonesia, budayanya ada, hanya implementasinya masih belum terasa,” ujar Alumnus Teknik Nuklir UGM ini.
Hal itu juga yang menjadi inspirasi dalam memimpin lembaga negara yang yang dicintainya, BATAN. Ia pun berpesan, selain keunggulan dalam intelektualitas yang dimiliki lulusan UGM, alumni juga harus dapat menjadi pelopor untuk bersikap dan berperilaku yang baik di masyarakat.
Di kesempatan yang sama, Dr. Harry Widianto, Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Pemuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan RI, menyampaikan keprihatinannya terhadap semangat untuk mempertahankan warisan kebudayaan bangsa yang kian luntur.
Menurut Alumnus Arkeologi UGM yang juga pakar manusia purba Indonesia ini, majunya satu bangsa yang hanya dipandang dari tingginya pendapatan yang bersumber dari kegiatan ekonomi justru berdampak buruk terhadap eksistensi cagar budaya. Ia mencontohkan, beberapa bangunan cagar budaya bernilai sejarah di Indonesia hampir hilang begitu saja akibat imbas pembangunan, seperti yang terjadi di Pasar Cinde, Palembang.
“Cagar Budaya harus tetap lestari, tapi perekonomian daerah juga harus tetap jalan, bukan justru mengorbankan salah satunya,” ungkapnya.
“Cagar budaya merupakan warisan bangsa, berupa warisan kebendaan, bangunan, struktur, dan situs, baik yang di darat dan di air yang harus dilestarikan, karena memiliki arti penting bagi sejarah, agama, pendidikan dan ilmu kebudayaan di Indonesia,” tambahnya.
Baik Hendig maupun Harry, keduanya merupakan alumni UGM yang sengaja diundang dalam acara “Pembekalan Wisudawan Program Pascasarjana Periode Oktober 2017”. Keduanya juga dianggap merupakan alumni UGM potensial yang kini menduduki posisi strategis di lembaga negara. Motivasi keduanya di harapkan dapat menjadi bekal lulusan UGM untuk berkiprah lebih di luar kampus Gadjah Mada. [Eggy]