“Pelestarian cagar budaya itu mencakup benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan cagar budaya. Cagar budaya selain benda memiliki banyak tantangan dalam pelestariannya karena menyangkut berbagai pihak pengelola dan ini harus dicari jalan keluarnya secara bersama,” ucap Harry Widianto, Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Dalam acara Pembekalan Calon Wisudawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Program Pascasarjana Periode Oktober 2017, lulusan Jurusan Arkeologi UGM tahun 1983 tersebut banyak menjelaskan kebijakan perlindungan cagar budaya dan tantangan yang harus dihadapi.
“Ketika cagar budaya ingin dijadikan zona ekonomi dan ini bertentangan dengan aspek pelestarian, inilah yang menjadi masalah kita. Oleh karena itu, dalam masalah pelestarian cagar budaya ini kita harus duduk bersama mencari jalan agar semuanya menang. Pelestarian tidak terganggu dan pengembangan zona ekonomi dari pembangunan sebuah daerah juga bisa jalan. Artinya keinginan harus disesuaikan dengan aspek pelestarian,” jelas Harry
Karier Harry dalam bidang arkeologi didasari pada obsesinya untuk menjadi seorang ahli manusia purba. Setelah lulus dari UGM, Ia mendalami bidang paleoantropologi dengan menempuh pendidikan S2 dan S3 di Institut de Paléontologie Humaine (Muséum National d’Histoire Naturelle), Paris, Perancis. Melalui tesisnya yang berjudul “Polymorphisme des Dents dés Hominidés de Java”, Harry mendapatkan gelar Master pada tahun 1990 dan selanjutnya meraih gelar Doktor pada tahun 1993 dengan disertasinya yang berjudul “Unité et Diversité des Hominidés Fossiles de Java. Présentation de Restes Humains Fossiles Inédits”.
Penelitian Harry di dalam negeri antara lain adalah survei dan ekskavasi di berbagai situs prasejarah di Indonesia sejak tahun 1978, penelitian situs manusia purba di Jawa sejak tahun 1993, dan penelitian gua hunian prasejarah di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan sejak tahun 1993 untuk mengetahui hubungan evolutif dari Homo Erectus ke Homo Sapiens. Sedangkan penelitiannya di luar negeri antara lain adalah ekskavasi di situs manusia purba Tautavel, Perancis (1989-1993); Lazaret, Perancis (1990); dan San Remo, Italia (1990). Atas berbagai penelitian yang telah dilakukannya tersebut, Harry berhasil menuliskan 70 karangan ilmiah terbitan nasional maupun internasional.
Saat ini, selain menjadi Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan permuseuman, pria kelahiran Magelang, 7 Juli 1958 tersebut juga menjadi Ahli Peneliti Utama pada kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI serta menjadi pengajar tidak tetap pada Jurusan Arkeologi UGM. Tidak hanya mengajar di UGM, Harrry juga menjadi pengajar dan penguji undangan bagi mahasiswa S2 dan S3 di Institut de Paléontologie Humaine. Selain itu, Ia diberi tanggung jawab untuk mengepalai Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran sejak tahun 2008.
“Kualitas alumni ditentukan setelah wisuda, saat kita semua berkiprah pada bidang ilmu maupun bidang pekerjaan masing-masing. Maka dari itu, jadilah insan akademisi yang berkualitas dan sampaikan kepada dunia melalui tulisan-tulisan. Bagaimanapun juga alumni adalah akademisi dan akademisi harus mampu membuktikan bahwa kita bisa berkiprah serta memanfaatkan ilmu yang didapatkan untuk memajukan bangsa,” pesan Harry kepada alumni UGM dalam sesi wawancara eksklusif bersamanya di University Club UGM pada Selasa (17/10).