Kesulitan tidak selalu mendatangkan kemalangan, beberapa orang memilih untuk bangkit dan membantu orang lain. Hal ini pula yang dilakukan oleh Eka Sulistyaningsih, akrab disapa Ekan, yang sejak pandemi COVID-19 telah membantu banyak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terdampak pandemi melalui Dapur Nyawiji.
Ekan adalah lulusan Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. Selama menjadi mahasiswa di UGM, Ekan gemar beraktivitas di luar kampus. Alih-alih mengikuti UKM di kampus, Ekan lebih banyak menghabiskan waktunya menjadi relawan di lembaga-lembaga NGO (Non Government Organization).
Sejak tahun 2010, Ekan melanjutkan kariernya sebagai karyawan kantoran. Kehidupannya menjadi nomaden, berpindah-pindah di berbagai kota di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Hingga pada tahun 2017, Ekan memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran karena alasan keluarga.
Pada tahun yang sama, Ekan mulai membuka usaha homestay guna menghidupkan kembali rumah tabon keluarganya bernama Ndalem Mangunsudiran. Homestay ini membuka peluang usaha baru bagi Ekan. Namun ketika pandemi COVID-19 muncul, Ndalem Mangunsudiran mati suri.
Meskipun bisnis homestay mati suri, staf homestay tidak dirumahkan. Dari staf-staf inilah Ekan mendengar banyak cerita mengenai kesulitan selama pandemi. Di titik itu, semangat Ekan untuk membantu sesama terketuk. Ia perlahan-lahan membantu orang-orang terdekatnya yang terdampak pandemi. Di sinilah Dapur Nyawiji lahir.
Dapur Nyawiji dimulai ketika Ekan dipercaya untuk mengurus bantuan bagi orang yang isolasi mandiri. Ekan melihat bahwa jika bantuan tidak dikoordinasikan dengan baik, maka bantuan itu akan tidak efektif. Selain itu, Ekan juga membantu pedagang kecil yang terdampak dengan memberikan pelatihan untuk memberikan added value pada produk yang dijual.
Menurut Ekan, Dapur Nyawiji adalah wadah di mana dapur-dapur di lingkungan Ekan bersatu untuk menghidupkan kembali roda ekonomi yang sempat lumpuh.
“Dapur Nyawiji menyatukan banyak dapur, termasuk menghidupkan, menyawijikan (menyatukan) dapur ekonomi yang terkena imbas pandemi,” ujar Ekan dalam wawancara KAGAMA BICARA #1.
Ekan menganggap rekan-rekannya di Dapur Nyawiji sebagai mitra bisnis, bukan staf. Hal ini membuat Dapur Nyawiji lebih inklusif. Pendekatan inklusif ini menciptakan lingkungan kerja yang lebih kolaboratif dan memberdayakan, di mana setiap individu merasa dihargai dan memiliki peran penting dalam keberhasilan perkembangan Dapur Nyawiji. Selain itu lingkungan yang inklusif juga dapat terlihat dari jumlah rekan kerja Ekan yang kebanyakan adalah perempuan.
Beberapa produk yang dijual di Dapur Nyawiji adalah teh lokal (teh tubruk), kopi, jajanan pasar, kue kering, bakso, hingga gudeg. Produk non-konsumsi seperti tote bag dan batik juga dijual di Dapur Nyawiji.
Dengan berbagai inisiatif yang dilakukannya, Ekan tidak hanya menghidupkan kembali ekonomi lokal, tetapi juga memberikan pelatihan dan dukungan kepada UMKM untuk meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk mereka. Ini membantu para pelaku usaha kecil bertahan dan bahkan berkembang di tengah situasi sulit. Dapur Nyawiji menjadi contoh bagaimana komunitas dapat bersatu dan berkolaborasi untuk saling mendukung dan menguatkan di masa krisis.
Melalui dedikasi dan inovasi, Ekan telah berhasil membangun Dapur Nyawiji sebagai pusat pemberdayaan ekonomi lokal. Kontribusinya sejalan dengan tujuan SDGs seperti pemberdayaan perempuan (SDG 5), pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi (SDG 8), serta konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab (SDG 12). Ekan telah membuktikan bahwa dari kesulitan, kita bisa menciptakan perubahan positif yang berdampak luas bagi masyarakat.
[Kantor Alumni: Aldiza, Foto: UGM Channel]