Pasca ditunjuknya Prof. Dr. Pratikno M.Soc.Sc. sebagai Meteri Sekretaris Negera, UGM ramai dengan kasak-kusuk yang memperbincangkan sosok yang akan mengisi jabatan rektor penggantinya. Namun kasak-kusuk itu tak berlangsung lama. Sebab, pada Sabtu (22/11) lalu Majelis Wali Amanat UGM telah menetapkan Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., sebagai rektor antarwaktu masa bakti 2014-2017. Beliau terpilih melalui musyawarah mufakat 19 anggota MWA yang hadir. “Secara musyawarah mufakat kita telah menetapkan Bu Dwikorita sebagai rektor,” papar Prof. Dr. Sofian Effendi, Ketua MWA UGM.
Sofian menjelaskan, Dwikorita ditetapkan menjadi rektor dengan banyak pertimbangan. Beberapa pertimbangannya adalah rekam jejak maupun prestasinya selama menjabat sebagai wakil rektor bidang kerjasama dan alumni yang dinilai bagus. Dengan terpilihnya Dwikorita sebagai rektor, Sofian menambahkan, ia menjadi rektor wanita pertama semenjak kampus ini didirikan pada 19 Desember 1949. “Kepemimpinan Dwikorita 2,5 tahun ke depan merupakan masa paling menentukan status UGM sebagai universitas perjuangan, universitas nasional, dan universitas pancasila,” jelas Sofian dalam sambutannya.
Dalam musyawarah MWA tersebut, Dwikorita terpilih menyisihkan lima orang wakil rektor lainnya. Namun, dari lima rektor tersebut, dua diantaranya, yaitu Prof. Dr. Ir. Budi Santoso Wignyosukarto, Dip. HE. serta Prof. Dr. Suratman tidak memenuhi persyaratan sesuai statuta karena usianya lebih dari 60 tahun. “Jadi ada tiga calon. Namun, Pak Iwan dan Pak Didi sempat menyatakan kalau boleh memilih masih ingin fokus menyelesaikan pekerjaannya di bidang perencanaan maupun akademik,” jelas Sofian. Hingga akhirnya, pada Senin (24/11) lalu, wanita kelahiran Yogyakarta, 6 Juni 1964 ini dilantik oleh MWA sebagai rektor. Setelah dilantik, Dwikorita juga menandatangani pakta integritas yang harus dijalankan hingga berakhir masa tugasnya, 25 Mei 2017 nanti.
Tantangan Baru Rektor Baru
Dilantiknya Dwikorita sebagai rektor bersamaan dengan momentum restrukturisasi pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia. Pengelolaan perguruan tinggi yang pada mulanya berada di bawah pos Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kini digabung dengan Kementerian Riset dan Teknologi. Penggabungan ini pun menghasilkan nomenklatur baru, yaitu Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti).
Ide mengenai penggabungan ini sebenarnya telah jauh-jauh hari dilontarkan oleh para rektor perguruan tinggi di Indonesia yang tergabung dalam Forum Rektor Indonesia. Mereka memandang riset-riset yang dilakukan di perguruan tinggi tidak bersinergi dengan lembaga riset lainnya. Selain itu, perguruan tinggi yang sejatinya diharapkan menjadi wadah pengembangan Ristek tidak berjalan optimal. Dengan penggabungan dua pos kementerian ini, diharapkan Perguruan Tinggi bisa menjadi wadah pengembangan Ristek yang berguna bagi bangsa Indonesia.
Menanggapi tantangan ini, Dwikorita Karnawati dalam sambutannya berhadap perubahan Kemenristek Dikti bisa menjadi peluang bagi UGM untuk menjadi socio entrepreneur university. Apalagi pada 2015 mendatang kita menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menuntut sumber daya yang memiliki daya saing agar tidak kalah dengan bangsa-bangsa yang lain. Dalam hal ini, UGM diharapkan bisa mencetak pribadi-pribadi yang memiliki karakter yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi tersebut. “Ini perlu strategi bersama sehingga bisa membawa UGM menjadi pilar kemajuan bangsa,” kata Dwikorita.